Oleh: MOH MAHFUD MD
Bung Hatta berbicara banyak mengenai demokrasi, antara lain, melalui tulisan-tulisannya di majalah Daulat Ra’jat tahun 1931-1933, seperti dimuat dalam jilid 1 buku Karya Lengkap Bung Hatta (LP3ES, 1998).
Ketika Hatta menulis itu, 1931, Hitler di Jerman masih berjuang untuk meraih kekuasaan melalui proses demokrasi, yaitu memimpin partai dan ikut dalam pemilu. Namun, munculnya Hitler menjadi fakta bahwa yang dinyatakan oleh Bung Hatta itu benar.
Waktu itu Hatta masuk dalam polemik tentang demokrasi Barat dan demokrasi asli Indonesia. Pemantiknya adalah kecenderungan umum bahwa jika perjuangan untuk meraih kemerdekaan kelak berhasil, Indonesia harus memakai sistem demokrasi.
Banyak yang setuju dengan ide itu, tetapi ada juga yang tidak setuju. Ada yang setuju asalkan memakai demokrasi asli Indonesia, bukan demokrasi Barat.
Hatta mengatakan, demokrasi asli Indonesia yang diteriakkan itu harus ada penjelasannya, jangan hanya kalimat kosong, words, only words. Begitu juga perlu dijelaskan, mengapa dan sejauh mana demokrasi Barat harus kita tolak.
Bung Hatta kemudian menjelaskan tentang itu. Menurut Hatta, demokrasi sejak dulu sudah ada di berbagai belahan dunia, termasuk di masyarakat Indonesia. Esensinya sama, jantung demokrasi adalah rakyat.
Demokrasi adalah pemerintahan yang berdasarkan keinginan dan kehendak rakyat. Meskipun begitu, filosofi dan bangunan (strukturisasi) demokrasi Barat dan demokrasi asli Indonesia itu berbeda.
Filosofi demokrasi Barat adalah individualisme yang kemudian melahirkan kapitalisme dan liberalisme serta imperialisme di bidang politik dan ekonomi. Sedangkan filosofi demokrasi asli Indonesia adalah kolektivisme yang berwatak kerja sama dan tolong-menolong melalui usaha bersama untuk kemajuan seluruh rakyat.
Demokrasi asli, kata Hatta, sudah sejak berabad-abad hidup di desa-desa di Indonesia. Namun, demokrasi asli sudah melenceng karena dirusak oleh feodalisme (sifat perbudakan) yang dibangun oleh penguasa-penguasa lokal yang kemudian diperparah oleh hadirnya kaum penjajah. Rakyat kemudian mengalami inferiority complex (rendah diri) dan berkubang dalam keterbelakangan.
Oleh karena jantung demokrasi, di mana pun, adalah sama, yakni rakyat, maka demokrasi Barat ataupun demokrasi asli sama-sama bisa dipakai di Indonesia, tetapi tidak diambil mentah-mentah, harus disesuaikan dengan filosofi kerakyatan dan kebutuhan masa depan Indonesia yang adaptif dengan kemajuan zaman.
Demokrasi di Indonesia tetap harus berdasarkan kolektivisme, tetapi kolektivisme baru. Secara politik demokrasi asli berwatak permufakatan yang berangkat dari desa-desa dan diteruskan secara berjonjong-jonjong sampai ke tingkat nasional melalui pembentukan Dewan Rakyat Indonesia, DPR kalau sekarang.
Secara mendasar pula, demokrasi asli mengandung cita-cita bagi rakyat untuk mendapat hak rapat (berkumpul), protes (termasuk menyatakan pendapat), dan tolong-menolong.
Hatta mengatakan bahwa kedaulatan rakyat bisa menjadi alat untuk memakan kedaulatan rakyat.
Dalam bidang perekonomian filsafat kolektivisme Indonesia mengharuskan ekonomi disusun sebagai usaha bersama untuk kepentingan bersama, tidak lagi dengan pembagian cara dan hasil kerja tradisional melainkan harus diperbarui menjadi produksi koperasi. Hatta memberikan substansi makna yang sama untuk istilah demokrasi, kedaulatan rakyat, dan volkssouvereiniteit.
Selanjutnya, Hatta mengingatkan adanya dua sisi buruk demokrasi, yakni pembunuhan demokrasi dengan demokrasi dan munculnya anarki.
Hatta mengatakan bahwa kedaulatan rakyat bisa menjadi alat untuk memakan kedaulatan rakyat. Bentuknya, banyak keputusan negara yang merampas hak rakyat dan melanggar hak asasi manusia, tetapi dibuat melalui prosedur dan lembaga formal demokrasi.
Banyak korupsi terjadi dan diputuskan melalui kolusi di antara tokoh-tokoh politik yang menguasai lembaga-lembaga demokrasi. Selain itu, Hatta mengingatkan juga kemungkinan runtuhnya demokrasi karena kebebasan yang berlebihan sehingga menimbulkan anarki di dalam masyarakat.
Hatta mencontohkan runtuhnya demokrasi di Perancis yang melahirkan kebebasan yang berlebihan menyusul Revolusi Perancis 1789 yang gemilang itu. Di sana anarki sehingga muncullah penguasa kuat dan otoriter, yakni Napoleon, yang membentuk Politiestaat (negara kekuasaan). Poiitiestaat ini kemudian menelan kembali demokrasi dengan alasan mengatasi anarki.
Kisah diktator Hitler, penguasa Jerman, dapat disebut sebagai contoh bahwa demokrasi bisa dipergunakan untuk membunuh demokrasi. Hitler adalah pimpinan Partai Nazi, Partai Pekerja Sosialis Nasional Jerman, tepatnya Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP), yang pada 1923 dijatuhi hukuman penjara karena pemberontakan.
Setelah keluar dari penjara (1924), Hitler membawa NSDAP mengikuti pemilu sampai beberapa kali dan berhasil mendapat kursi meski tak signifikan. Dengan menggunakan modal politik NSDAP, Hitler merancang kediktatoran- nya lewat proses demokrasi. Mula-mula Hitler mengajak partai-partai untuk meminta Presiden Jerman Paul Von Hindenburg agar mengangkat dirinya menjadi kanselir (perdana menteri).
Meskipun tidak mudah karena semula Presiden Hindenburg menolak, pada 30 Januari 1933 Hitler berhasil diangkat sebagai kanselir.
Selanjutnya, pada 23 Maret 1933, Hitler berhasil memaksa diberlakukannya Undang-Undang Pemberian Kewenangan yang dengan undang-undang itulah Hitler membangun kediktatoran Nazi yang buas dan kejam hingga 1945. Perampasan hak rakyat dan kejahatan kemanusiaan dengan korban ribuan manusia dilakukan oleh Hitler.
Tak ada yang bisa menandingi kekejaman Hitler dalam kediktatorannya sehingga ia dijuluki sebagai penjahat perang terbesar pada Perang Dunia II.
Kediktatoran dan kejahatannya dibangun melalui mekanisme dan lembaga-lembaga demokrasi dengan kolusi dan koersi antaraktor-aktor politik. Itulah contoh, Hitler membunuh demokrasi dengan demokrasi.
Banyak korupsi terjadi dan diputuskan melalui kolusi di antara tokoh-tokoh politik yang menguasai lembaga-lembaga demokrasi.
Seusai Perang Dunia II tahun 1945, kediktatoran Hitler berakhir. Hitler diburu tentara Sekutu dan dikejar-kejar oleh rakyatnya. Sejarah hidupnya berakhir tragis ketika dia dan istrinya berusaha kabur serta bersembunyi melalui sebuah terowongan di Berlin Bunker.
Mayat suami-istri itu tidak ditemukan dan tak ada kuburannya sampai sekarang. Ada yang bilang, Hitler dan istrinya ditembak oleh anak buahnya sendiri dan mayatnya dibuang setelah dirusak. Ada yang bilang, Hitler dan istrinya bunuh diri untuk kemudian jenazahnya dibakar sampai jadi abu.
Ada juga yang bilang, Hitler dan istrinya ditangkap oleh tentara Sekutu untuk kemudian dieksekusi di tempat yang dirahasiakan kepada umum.
Dalam suasana peringatan hari proklamasi kemerdekaan tahun ini, ada baiknya kita mengingat peringatan Bung Hatta tentang dua sisi bahaya dari demo- krasi itu. Melihat perkembangan dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, banyak hasil kajian yang mengkhawatirkan kelangsungan Indonesia kita.
Masalahnya, korupsi terus merajalela, kejahatan bermunculan, demokrasinya kolutif. Penegakan hukum masih lemah dan diwarnai oleh kolusi, penyuapan, dan berbagai transaksi gelap sampai pada isu saling sandera.
Banyak hasil kajian, korupsi dan berbagai jenis kolusi di Indonesia ditempuh dengan mekanisme formal di lembaga-lembaga demokrasi, yakni kongkalikong antara tokoh-tokoh dan lembaga demokrasi yang melibatkan oknum di lembaga-lembaga penegak hukum.
Bersamaan dengan itu muncul juga gejala anarki yang mengkhawatirkan karena kebebasan yang berlebihan dalam masyarakat.
Untuk Indonesia yang lebih baik dan dalam menuju Indonesia Emas, perlu kita pedomani peringatan Hatta tentang sisi buruk demokrasi yang ditulisnya dengan cemerlang pada 1931, atau 93 tahun lalu, 14 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan kita.